Minggu, 23 November 2014

biografi ibuku

EEN SUHAENAH



Een Suhaenah lahir pada 16 Agustus 1960 di Kuningan, Jawa Barat. Ia adalah anak tunggal dari pasangan suami istri bernama Madsada dan Hadiah. Ibunya meninggal pada saat melahirkannya, sehingga ia tidak bisa melihat sama sekali raut wajah ibu yang dicintainya itu. Een Suhaenah terlahir dari keluarga yang sederhana. Ayahnya hanya bekerja sebagai petani di kampungnya. Karena keadaannya yang sederhana dan menjadi anak piatu menjadikannya terbiasa hidup mandiri.

Karena tak mampu mengurusi Een yang pada saat itu berumur 2 tahun, ayahnya menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Ruwati pada tahun 1962. Meskipun hubungannya dengan Een berstatus ibu tiri, tetapi ibu tirinya itu mengasuh Een layaknya seperti anak kandungnya sendiri. ia diurus oleh ibu tirinya di Jakarta.

Pada tahun 1966, ia masuk ke sebuah sekolah dasar di Jakarta. Sayangnya, ia hanya bisa menduduki bangku sekolah sampai ia kelas 6 SD. Keterbatasan ekonomilah yang menjadikannya putus sekolah. Namun begitu, ia tidak pernah mengeluh kepada orang tuanya walaupun ia sangat ingin melanjutkan pendidikannya.

Walaupun hanya lulusan sekolah dasar, hal itu tidak menjadikan Een kesulitan dalam mencari pekerjaan. Ia pernah menjadi seorang perawat bayi di sebuah rumah sakit swasta. Hingga ia berumur 24 tahun dan menemukan seorang pria (kini menjadi suaminya) bernama Pulung Suganda dan menikah pada 11 Januari 1984.

Dari pernikahannya dengan Pulung Suganda itu, setahun kemudian ia melahirkan seorang anak perempuan bernama Pramesti. Lalu melahirkan anak kedua yaitu laki-laki tiga tahun kemudian pada 1988 bernama Bagas Wibawa. Ia menjalani kehidupannya dengan suami dan kedua anaknya dengan sangat harmonis.

Pada tahun 1991, Een berduka karena ayahnya Madsada meninggal yang pada saat itu Een berumur 31 tahun. Pada saat itu Een langsung pergi ke Kuningan untuk melihat jenazah ayahnya. Pada tahun 1998, ia meahirkan anak ketiganya dengan jenis kelamin perempuan bernama Rimbi Brahma Cari.

Kegiatan sehari-hari Een adalah sebagai Ibu Rumah Tangga dan 4 tahun belakangan ini ia membantu suaminya menekuni usaha depot air isi ulang. Pada umur yang ke 53 tahun, ia dianugerahi seorang cucu laki-laki dari anak pertamanya, Pramesti dengan menantunya Gagan orang dari Bandung. Cucu laki-lakinya diberi nama Raditya Naufal Zuhair.

Walaupun ia hanya lulusan SD, ia tidak mau anak-anaknya bernasib sama sepertinya. Ia ingin anak-anaknya dapat bersekolah sampai perguruan tinggi dan suatu saat dapat menjadi orang sukses. Walaupun anak pertamanya hanya sampai di bangku SMA, tetapi anak keduanya telah mendapat gelar sarjana ekonomi di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta, yaitu UIN. Dan kini anak keduanya telah bekerja di PT. LION AIR INDONESIA. Dan untuk anak ketiganya ia masih berusaha membiayai sekolah dan ia berharap anak ketiganya juga bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi dan bisa menjadi orang sukses yang suatu saat bisa berguna bagi masyarakat sekitar.

Senin, 03 November 2014

ANTARA AKU, IBU, DAN SAUDARA KEMBARKU

Huh... aku menghela napas panjang, siang ini terasa sangat panas sekali. Kebetulan hari ini hari Sabtu, jadi aku bisa memanjakan diri beristirahat di rumah. Aku merasa bosan karena tidak ada kegiatan yang aku lakukan, kulihat acara tv juga tidak ada yang menarik. Maka kuputuskan diriku untuk melihat album-album foto yang ada di laci meja. Satu-persatu foto kupandangi, melihat foto-foto masa kecilku membuatku terhibur. Saat sedang asyik melihat-lihat, tiba-tiba ada satu foto yang membuatku merenung. Ada dua bocah perempuan disana. Mereka adalah aku dan Iis, saudara kembarku. Di foto itu aku terlihat akrab sekali dengannya. Tapi sayang, dia tidak tinggal bersamaku, dia tinggal di kampung bersama seorang ibu yang kupanggil Bi Ida. “Neng, kok ngelamun aja? Ada masalah? Cerita aja sama mama”. Ucap mama mengagetkan yang ternyata dari tadi sedang memperhatikanku. “Oh, engga mah. Ibi cuma bingung aja.” “Bingung kenapa?” “Ibi pengen tanya sama mamah, tapi janji ya mama jangan marah.” “Tanya apa, iya mama gak marah kok.” “Ma, sebenernya Iis itu anak mama apa anaknya Bi Ida ?” “Kok kamu nanya nya gitu sih?” “Engga mah, Ibi cuma bingung aja. Mama itu kalo gak ketemu Teh Mesti seminggu aja udah telponan lama banget, tapi kok kalo gak ketemu Iis setahun, mama gak pernah telponan sama Iis.” Teh Mesti adalah kakakku yang kini telah tinggal dengan suaminya di Bandung. Setelah aku menanyakan hal itu, kulihat mama hanya diam dan matanya tampak berkaca-kaca. Aku merasa bersalah menanyakan hal itu. “Ma, kenapa? Ibi salah ya nanyain itu? Maafin Ibi ya ma.” “Engga, Ibi gak salah kok. Ibi udah siap mama ceritain yang sebenarnya?” mama yang semula menunduk kini menegakkan kepalanya sambil menggenggam tanganku erat. Kulihat setetes air bening jatuh dari kelopak matanya. “Cerita apa ma? InsyaAllah Ibi siap.” “Jadi, enambelas tahun yang lalu Ibi dan Iis dilahirkan normal dari rahim seorang ibu, dia adalah Bi Icih. Jadi, Bi Icih yang selama ini kamu anggap bibi, sebenarnya adalah ibu kandungmu sendiri. Sedangkan mama yang selama ini kamu anggap ibumu, sebenarnya adalah bibimu yang mengasuhmu dari umur kamu tujuh hari sampai sekarang. Sebenarnya ibu kandungmu sangat sedih untuk melepaskan Ibi dan Iis kepada orang lain, tapi ia harus melakukan itu karena pada saat itu kamu dan Iis mempunyai seorang kakak yang umurnya hanya tigabelas bulan dari Ibi dan Iis, gak mungkin kan kalau ibumu mengurus tiga-tiganya ? pasti ibumu sangat kerepotan. Makanya pada saat itu nenekmu menyarankan ibumu untuk menitipkan kamu dan Iis untuk diasuh dengan orang lain. Nenekmu memercayakan mama dan bapak untuk mengurusmu, sedangkan Iis diasuh oleh Bi Ida, dan ibumu sendiri mengurus kakakmu. Nenekmu menyuruh untuk merahasiakan ini dan mama baru boleh mengatakan hal ini jika kamu sudah besar. Karena mama rasa kamu sudah cukup besar untuk mengerti hal ini, makanya mama baru kasih tau sekarang. Tapi mama sudah menganggap Ibi sebagai anak kandung mama sendiri.” Mama menceritakan riwayat hidupku dan Iis yang sebenarnya. Kulihat mama tampak bersedih tapi disatu sisi mama terlihat lega seperti telah menyelesaikan masalah. Aku merenung kembali dan kini giliranku untuk menangis, tak terasa air mataku jatuh membasahi pipi. Aku membayangkan rasa sakit ibu kandungku yang harus menerima takdir seperti ini, aku salut dengannya karena ia begitu tegar menghadapi semua ini. “Kenapa ? pasti Ibi sedih ya tau hal ini ? Ibi yang sabar aja, karena ini bukan kemauan ibu kandung Ibi, bukan juga kemauan nenek, tapi Allah menakdirkan ini untuk kita semua. Ibi jangan salahkan takdir Allah. Ambillah hikmah dibalik ini semua ya sayang.” “Ya ma, Ibi udah ikhlas nerima hal ini.” “Tapi Ibi harus lebih sayang sama Bi Icih, yaitu ibu yang melahirkan Ibi. Dengan adanya takdir seperti ini Ibi harus bersyukur karena Ibi adalah anak kembar dan Ibi mempunyai empat oang tua yang sangat menyayangi Ibi.” “Iya ma, makasih udah mau merawat Ibi sampai sekarang. Ibi minta maaf kalau Ibi selalu buat mama sedih.” “Ya sayang.” Mama memeluk erat tubuhku. Aku merasa hangatnya kasih sayang mama walaupun mama hanya orang tua angkatku. Kini aku berfikir bahwa takdir Allah tak pernah salah, aku bahagia walaupun aku harus terpisah dari ibu dan Iis. Aku berharap suatu saat nanti aku dapat berkumpul bersama ibu kandungku dan Iis layaknya sebuah keluarga yang utuh.

Selasa, 19 Agustus 2014

cita-citaku

Assalamualaikum
Hai perkenalkan namaku Rimbi Brahma Cari. Aku mempunyai cita-cita menjadi dokter anak. Cita-cita itu tercipta dalam benakku ketika mendengar berita meninggalnya sejumlah anak karena kurang gizi. Sangat miris, di kota-kota besar seperti Jakarta tersedia berbagai macam jenis pelayanan kesehatan dari puskesmas sampai rumah sakit ternama. Tetapi sangat jauh berbeda dengan pelayanan kesehatan di pedalaman desa. Disana hanya ada puskesmas kecil, itupun perjalanannya harus ditempuh berpuluh-puluh kilometer demi ingin sehat. Karena itu aku ingin menjadi dokter anak di pedalaman desa. Membantu orang-orang yang ingin sehat denan tak terbatas. Aku ingin membantu mereka tanpa pilih kasih, tidak memandang mana yang kaya dan mana yang miskin. Aku ingin mereka membayar sesuka hati mereka. agar mereka tak kesulitan mendapatkan hak mereka, yaitu kesehatan. Selain itu, aku ingin mengharumkan nama orang tuaku. Aku ingin jika orang tuaku berusia lanjut nanti, mereka tersenyum ketika melihat kesuksesanku. Aku ingin membalas jasa-jasa mereka mencari uang dan membesarkanku sampai detik ini. Ketika aku sukses nanti, aku ingin mengantarkan orang tuaku ke rumah suci Allah, yaitu Kakbah. Aku ingin membantu mereka melaksanakan rukun Islam yang ke lima, yaitu haji dan umrah. Dengan tercapainya cita-cita itu aku harus menyelesaikan sekolahku dengan baik. Setelah aku lulus dari SMAN 7 Tangerang yang tercinta ini, aku ingin melanjutkan ke UNPAD Bandung dengan fakultas kedokteran. Tapi rasanya masuk ke UNPAD, menjadi dokter, dan memberangkatkan orang tua naik haji sangat mustahil bagiku jika tidak berdoa dan berusaha. semoga cita-citaku tercapai yaa, aamiin.